Rabu, 28 Desember 2016

Wiro Sableng #169 : Bulan Sabit Di Bukit Patah

Wiro Sableng #169 : Bulan Sabit Di Bukit Patah Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1WIRO SABLENG

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Karya: Bastian Tito

Episode : KUPU-KUPU GIOK NGARAI SIANOK

GOA itu terletak di lereng timur Bukit Siangok. Bagian dalamnya berlapis batu-batu pualam. Bebatuan ini selain memancarkan cahaya terang juga mengeluarkan hawa sejuk di waktu siang dan menebar udara hangat di malam hari. Siapa saja, bahkan lebih dari satu orang bisa tinggal di goa itu untuk jangka waktu lama karena tak berapa jauh dari goa terdapat sebuah perigi dangkal berair jernih. Di lereng di atas goa ada satu hutan kecil ditumbuhi berbagai pohon buah yang bisa dimakan. Selain itu Juga banyak berkeliaran ayam hutan yang tidak terlalu sulit ditangkap untuk dijadikan santapan.

Untuk mencapai goa yang terletak di bagian bukit terpencil ini jalan yang harus ditempuh cukup sulit. Penduduk beberapa dusun di sekitar kaki Bukit Siangok jangankan naik ke bukit, mendekat di sekitar kaki bukit saja tak ada yang berani. Konon di kawasan bukit banyak berkeliaran harimau besar. Terkadang binatang ini tidak muncul sendirian, ada kalanya berombongan atau anak beranak. Ada yang mempercayai kalau binatang-binatang buas itu merupakan peliharaan orang sakti. Namun siapa orangnya dan di mana tepat tempat kediamannya tidak
... baca selengkapnya di Wiro Sableng #169 : Bulan Sabit Di Bukit Patah Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Selasa, 27 Desember 2016

Kho Ping Hoo - BKS#07 - Pendekar Super Sakti

Kho Ping Hoo - BKS#07 - Pendekar Super Sakti
 Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1Pendekar Super Sakti

Seri : Bu Kek Siansu #07

Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo

Anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun itu mengintai dari kaca jendela dengan muka marah, mata merah dan gigi berkerot saking marah dan sedihnya menyaksikan keadaan di ruangan dalam rumah gedung ayahnya. Ruangan itu luas dan terang-benderang, suara tetabuhan musik terdengar riuh di samping gelak tawa tujuh orang pembesar Mancu yang sedang dijamu oleh ayahnya. Dari luar jendela ia tidak dapat menangkap suara percakapan yang diselingi tawa itu karena amat bising bercampur suara musik, akan tetapi menyaksikan sikap ayahnya terhadap para tamu pembesar itu, anak ini menjadi marah dan sedih. Ayahnya bicara sambil membungkuk-bungkuk, muka ayahnya yang biasanya bengis terhadap para pelayan dan angkuh terhadap orang lain, kini menjadi manis berlebih-lebihan, ter­senyum-senyum dan mengangguk-angguk, bahkan dengan kedua tangan sendiri me­layani seorang pembesar yang brewok tinggi besar, menuangkan arak sambil membungkuk-bungkuk.

Ayahnya yang dipanggil ke kanan kiri oleh para pembesar, menjadi gugup dan kakinya tersandung kaki meja, guci arak yang dipegangnya miring, isinya tertumpah dan sediki
... baca selengkapnya di Kho Ping Hoo - BKS#07 - Pendekar Super Sakti Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Rabu, 06 Januari 2016

NOSTALGIA SETITI (Part 2)

Hey evrebadeh, balik lagi nih. Moga gak bosan2 baca tulisan gue ya...
Kalo di Part 1 kemarin gue nulis tentang perjalanan gue dari Bogor ke Kaledupa setelah 8 tahun terakhir sampe akhirnya tiba di Jambata Ambeua. Jadi sebelum baca part yang ini, sangat recomended buat baca yang Part 1 dulu (eeh ngiklan). Bagi yang udah baca Part 1, mohon maaf banget Part 2 nya telat di-upload. Minggu-minggu terakhir ini jadi masa-masa paling (sok) sibuk yg pernah gue alami selama ini, tapi ga lebih sok sibuk sih dari operator T*lk*ms*l yang gak pernah absen siang malem nongol di inbox sms.
Di part 2 ini gue mau cerita tentang kegiatan gue selama 2 hari di Kaledupa, termasuk beberapa budaya di Kaledupa yang berhubungan sama kawinan.


Well, setelah tiba di rumah sepupu gue Denvy Meidian, ternyata lagi rame banget karena ibu-ibu sekitar sedang "pomingku". Gue gak begitu paham definisi pomingku dalam Bahasa Kaledupa, tapi artinya kira2 kalo ada yang lagi ngadain acara atau hajatan pokoknya semua warga sekitar ataupun keluarga pasti gotong-royong ikutan bantu, tanpa embel-embel fee atau honor yang banyak dijadiin pertimbangan oleh masyarakat kekinian sebelum kerja. Di Kaledupa sendiri yang notabenenya rumah panggung, pomingku biasanya dilakukan di kolong rumah. Kebiasaan keren ini emang udah ada sejak dulu dan masih terpelihara sampe sekarang. Ga peduli di daerah mana, tiap ada orang Kaledupa yang mau ngadain hajatan pasti sebagian besar orang Kaledupa yang juga ada di daerah situ ikut nyumbang pikiran maupun tenaga. Ini salah satu yang bikin gue bangga sama Kaledupa. Gue berharap mudah2an kebiasaan ini ga akan pernah terkikis sama paham hedonis dan materialis yang udah mulai merasuk hampir di semua sendi kehidupan bermasyarakat di sekitar kita (ciyee bijak).



Awalnya ibu-ibu yang pomingku di kolong rumah belum pada ngenalin gue. Setelah nyokap (yang juga ikutan pomingku) manggil, dengan segera semua ibu-ibu natap heran ke gue dan mungkin mereka membatin “Anak kecil yang dulu pendek dan bulet itu kok sekarang udah angus plus kurus kering kerontang kayak gini ya”. Sampe sini gue jadi mikir lagi, kayaknya gue emang perlu dilestariin atau diawetin jadi mumi sekalian, dipajang di etalase museum atau stand pameran benda peninggalan arkeologi, trus foto gue dari kecil sampe gede dibingkai dan dipajang rapi berjejer di samping mumi gue, biar jadi bukti valid kalo manusia bisa ngalamin metamorfosis sempurna... (au ah, kayaknya selama di perantauan nasib gue naas banget).

Salah satu ibu yang pomingku kemudian manggil gue buat sungkem ke beliau sekalian nanya-nanya. Seolah gak mau kalah, ibu-ibu yang lain juga pada manggil. Dan akhirnya terjadilah sungkeman massal. Gue ngegilir satu persatu ibu-ibu yang lagi pomingku buat sungkem. Tapi sayangnya dengan bodi gue yang bertahun-tahun istiqomah tanpa otot gini ga bikin ibu-ibu prihatin dan merelakan nol koma nol nol sekian persen pendapatannya atau pendapatan suaminya dalam bentuk lembaran yang berfungsi sebagai alat tukar dan tertutup indah, bersih dan putih dalam sebuah amplop (apa sih!!).

Selain bangga sama tradisi ini, istilah pomingku juga kadang bikin gue ngelus dada, temasuk waktu sungkem2an sama ibu-ibu tadi. Ga ada yang salah sih sama kebiasaan pomingku, dan menurut gue emang tradisi ini kudu-mesti-wajib-harus dilestariin. Yang jadi masalah, hampir semua ibu-ibu yang pomingku nanyain kapan mau pomingku di rumah gue. You know lah maksudnya apa. Yup, pertanyaan itu sebenernya sindiran buat jomblo tingkat advance kayak gue kapan nikahnya (anjaayy jomblo tingkat advance). Jomblo emang bully-able broo, jadi istilah apapun termasuk pomingku pasti bisa dimahfumkan sebagai sarana untuk mengusik ketenangan dan kedamaian hati kita dalam kesendirian (halah..ngaku belum laku aja susah amat!).

Pas sorenya gue nyuri waktu sama temen masa kecil dulu buat ngalang di Jambata Buranga. Begitu ngelewatin Labelengka dan sebelum masuk Tee Kuu, gue bener-bener hampir mewek di perjalanan. Seandainya Kaledupa itu berbentuk manusia, udah gue peluk sambil gigit kuat-kuat karena semua kenangan yang dia buat ke gue. Asli speechless ngomongin bagian yang ini. Dan sepertinya space-nya gak cukup buat nyeritain semua masa-masa kecil gue selama di Kaledupa, Mungkin biar di tulisan selanjutnya aja.

Nah ini penampakan temen kecil gue itu
(Sori fotonya kurang jelas, fokusnya emang mau nyorot pemandangan, bukan modelnya. Hihi, peace Lim)




Kita balik ke Ambeua udah maghrib, dan setiba di rumah, orang2 lagi pada nyiapin tempat buat acara joget di halaman rumah. Acara joget ini emang yang paling jadi ciri khas tiap acara nikahan atau syukuran orang Kaledupa. Bagi orang Kaledupa kebanyakan, nikahan tanpa joget bakal terasa lebih hambar dari mie instan tanpa bumbu. Ogah gue nyebutin ibarat sayur tanpa garam. Sayuran terlampau indah di-“mention” buat perantau sebatang kara berkasta sudra kayak gue (hiks).
Mulai dari belia, dewasa, sampai yang tua pun ga mau ketinggalan kalo acara yang satu ini udah mulai, ga terkecuali nyokap gue (-_-). Bagi muda-mudi di Kaledupa, acara joget ini biasanya digunain buat nyari atau minimal ngelirik lawan jenisnya (aww). Awas loh sampe pacaran, kan haram. Nah bagi yang udah berumur, dateng ke acara joget dimanfaatin buat mengekspresikan gairah muda yang dulu pernah ada (lah emang segitunya?), sekaligus silaturahmi dengan rekan sejawat dan nunjukin eksistensinya (ko mai naana, bara i molingakkami) *ini sekedar sok2 tau gue aja sih*. Yang nyari keringat lewat acara joget ini juga banyak loh, kebukti dari pakaian peserta joget yang di bagian punggungnya keliatan lingkaran basah setelah joget selesai!
Kalo soal gaya joget orang2 Kaledupa, cuma satu kata: "ekspresif". Gerakan maju-mundur secara serempak dengan pasangan-pasangan lainnya jadi gerakan dasar joget Kaledupa. Tapi tidak sedikit yang "memodifikasinya" sehingga terlihat lebih atraktif (tapi ga lebay) sehingga secara ga langsung membuat ketertarikan lawan jenis untuk mau berjoget sama dia (entahlah bener apa gak nya).



Seumur-umur gue belum pernah joget. Pas nikahan sepupu kemarin, gue bener-bener diwajibkan ikutan joget karena katanya kami tuan rumahnya. Sampe dipaksa dan ditarik-tarik segala biar gue mau terjun ke arena hadap-hadapan berjamaah itu. Dan pada akhirnya ilmu kanuragan "1001 alasan" gue yang selama ini terpendam kepake juga. Iya, gue lolos dan gak joget.
Jaim? Hehe iya dikit sih. Gue bukannya ga bisa joget, tapi emang ga biasa show on depan keramaian (halah excuse).
Entahlah, mungkin kemaren belum saatnya. Kayaknya nanti kawinan gue aja gue "totally all out" memperagakan kompleksitas koreografi Joget Kaledupa yang selama ini udah gue amati dan pelajari dari kejauhan (emang kapan kawin mblo?).

Satu lagi yang ga pernah luput dari tiap ada acara di Kaledupa adalah "ndengu-ndengu". Gue ga terlalu paham gimana mau nyeritain tentang ndengu-ndengu ini. Ndengu-ndengu kalo ga salah artinya bunyi-bunyian, yang terdiri dari 3 instrumen utama yaitu sepasang gong, gendang, sama tiga buah gamelan. Instrumen musik tradisional ini biasanya dimainin siang malem selama beberapa hari sebelum hari-H hajatan, sebagai isyarat bahwa di rumah tersebut bakal ngadain acara dan ngarepin warga yang ada di sekitar biar datang pomingku atau minimal nengok ngunjungin. Sayangnya dari yang gue amati, ndengu-ndengu udah jarang bahkan ga pernah lagi dimainin kalo ada hajatan orang Kaledupa di kota. Kendalanya bisa jadi karena penyedia alat ini yang terbatas, dan ibu-ibu atau bapak-bapak yang bisa mainin juga udah makin dikit.


Pas hari-H nikahan, gue jadi fotografer dadakan dan ngikutin iring-iringan pengantin laki-laki sampai ke rumah sepupu gue sebagai pengantin wanitanya. Seinget gue waktu kecil dulu iring-iringan pengantin ga cuma jalan dari rumahnya ke tempat mempelai perempuan deh, tapi diarak keliling kampung. Soalnya waktu kecil sering banget sama temen “helamba” iring-iringan pake tali timba sumur. Setelah iring-iringannya lewat, kita nyari lagi jalur yang bakal dilewatin sama pengantin itu dan ngelakuin hal yang sama. Ga jelas juga apa yang dulu kami harapkan dengan ngulang-ngulang helamba. Oh ya, helamba ini sejenis masang tali di sisi jalan sampai ke seberangnya buat dilewati atau dilangkahi sama iring-iringan pengantinnya. Gara-gara kebiasaan helamba ini, gue sama temen gue hampir ditimpuk sendal sama ibu-ibu setengah baya. Maklumlah jaman jahiliyah dulu, terjadi miss komunikasi *yaelah istilahnya* sama temen gue, kita ga sengaja narik ngencengin talinya sementara masih ada sisa rombongan yang belum lewat. Salah seorang ibu yang udah ngos-ngosan hampir berguling ria di tanah karena ulah kami itu. Gue masih inget ibu itu nyokap siapa, tapi sudahlah, lupakan. Hihihi.

Dari yang gue denger, helamba ini punya arti filosofis bahwa dalam pernikahan pasti ada yang namanya rintangan dan hambatan, dan mau ga mau harus dilewatin sebagai simbol si calon suami mampu jadi pemimpin rumah tangganya kelak dan melewati segala............... (apa sih yang bakal dilewatin? Ga ngerti sumpah T_T). Ngomong-ngomong selama ngikutin pengantin pria, gue gak ngeliat lagi ada anak-anak yang helamba. Mungkin hal-hal seperti ini tidak lagi dianggap menarik oleh anak-anak jaman sekarang. *Baru nyadar udah tua*



Setelah tiba di depan rumah pengantin perempuan, iring2an ditahan sejenak sama tuan rumah. Pas pengantin pria udah masuk ke dalam rumah pengantin wanita, tuan rumahnya lalu melempar duit kertas dan receh ke rombongan yang ngikutin tadi. Hal ini dilakukan sebagai simbol kesyukuran tuan rumah karena anak perempuannya telah dipinang dan sebentar lagi bakal melangsungkan akad nikah.
Waktu kecil gue sama temen-temen paling demen ngikutin iring-iringan pengantin salah satunya karena pengen berebut koin ini. Segala jurus pamungkas kepunyaan Wiro Sableng yang kami tonton dan serap tiap hari minggu siang bakal kepake abis di arena ini. Setelah berebut koin, masing-masing dari kami dengan bangga saling nunjukin hasil yang terkumpul, lalu kompak bareng-bareng ke kios buat beli permen ataupun “biji-biji”. What a meaningful moment. Walau awalnya saingan, kita akhirnya saling nyukupin duit biar bisa kebagian jajan semua. Ini salah satu nostalgia di Kaledupa yang ga gue dapet di tempat lain setelah pindahan.
Ngomong-ngomong soal berebut duit, para pejabat busuk yang mempraktikkan Korupsi Kolusi Nepotisme dan ngabisin milyaran sampe trilyunan uang di negeri ini ga bakalan pernah tau dan ngerti bagaimana usaha kami anak-anak di pulau terpencil mendulang kebahagiaan lewat recehan. Ga bakalan pernah tau dan ngerti bagaimana ujung tombak generasi penerus bangsa di kebanyakan pulau-pulau kecil hanya bisa menikmati sarana listrik di malam hari. Juga ga bakalan pernah tau dan ngerti bagaimana susahnya lulusan sarjana berebut kuota PNS di daerah, yang tidak jarang status PNS ini dijadiin salah satu syarat buat dapetin lampu hijau dari calon mertua *curcol detected*. Sekarang kebayang kan mblo? Bahkan praktik KKN pun jadi salah satu penyebab “blooming” populasi jomblo gagal nikah kayak kita! Hayo berantas KKN!!! (Ini fokusnya apaaa coba? -_-)



Tibalah saatnya akad nikah. Sebenernya gue agak heran kok pengantinnya duduk bareng, setahu-tempe gue dalam adat Buton pengantin wanita harusnya masih disembunyiin dulu sampe pengantin pria ngucap ijab qabul sama wali pihak wanita. Tadinya mau ngingetin, tapi Aku mah apa atuh, cuma nun mati di antara idgam bilagunnah (halah). Setelah ijab dan qabul lalu kedua mempelai menandatangani surat-surat administrasi pernikahan, dan terakhir sungkem sama orang tua. Kedua mempelai termasuk semua yang ada di ruang ijab qabul terharu banget pas proses yang ini, gue juga. Mungkin karena dulu gue paling jahil dan iseng banget sama kakak sepupu yang ini. Hihi. Bahagia itu sederhana broo, annoying your sister!!
Setelah ijab qabul pengantin pria secara simbolis dicuci kakinya sebelum dipersilahkan masuk ke kamar pengantin wanita, lalu pengantin wanitanya lalu di-“toba”. Setelah prosesi cuci kaki dan toba kemudian dilakukan doa bersama, biar pernikahannya diberkahi Allah SWT, kelak dianugerahi keturunan yang soleh dan solehah, sehingga menjadi keluarga sakinah mawaddah warahmah. Aamiin. Nah yang berikutnya suap-suapan (ciyee, ngiler mblo?). Pengambilan gambar suap-suapan ini sampe 4 atau 5 kali kalo gak salah inget, soalnya pengantinnya malu-malu. Sebenernya sekali dua kali aja udah cukup, tapi berhubung gue kameramennya, iseng deh ngerjain mereka bedua.


Well, masih banyak banget sebenernya yang mau gue ceritain tentang kebiasaan kawinan di Kaledupa berdasarkan adat Buton kayak yang gue saksiin waktu nikahan sepupu gue kemarin, seperti Lelei, Pajaga, Hebindu, Pasali, dan lain-lain beserta makna filosofis yang terkandung di dalamnya. Kalo dimasukin di part ini kepanjangan, alangkah baiknya di tulisan selanjutnya aja ya, biar menjadi layak dan patut untuk diperbincangkan, karena semuanya akan dikupas secara tajam, setajam...(oalahh x_x)

Lewat tulisan ini juga gue mau ngasih tau sama generasi Kaledupa yang sempet baca ini bahwa aset budaya kita itu mahal loh. Walaupun mungkin budaya seperti ndengu-ndengu atau kebiasaan-kebiasaan yang udah gue sebutin di atas tadi ada juga di daerah lain, tapi tetep aja ada suatu nilai yang jadi ciri khas budaya kita. Budaya-budaya seperti inilah yang menurut sok tau gue mesti dilestarikan dan dikenalkan sejak dini kepada generasi muda di sekolah2 dasar sampe menengah. Salah satunya menurut hemat gue ya mengintegrasikannya dengan pendidikan formal lewat kurikulum muatan lokal, biar nanti tetep awet, ga tergerus sama perkembangan zaman. Jadi pelajaran mulok bukan cuma berisi bahasa daerah aja. Bahasa Daerah Kaledupa juga mestinya harus ada yang nginisiatif bikin kamus kosakatanya. Lewat tulisan ini sekalian gue mau ngajak pemuda dan praktisi pendidikan di Kaledupa buat bikin suatu modul pembelajaran kurikulum lingkungan dan budaya, yang berisi pengetahuan tentang kearifan lokal, nilai-nilai, paham, pandangan, kebiasaan dan adat istiadat di Kaledupa. Kalo gue sih mau aja nginisiasi. Yang lain mau gak?
Pembahasan tentang paragraf barusan pokoknya nanti gue bikinin tulisan lain lagi, biar ga setengah-setengah.



Pas pulang, gue terdiam ngeliat bentuk Jambata Ambeua yang perlahan-lahan mengecil. Gue janji dalam hati bakal pulang ngelakuin sesuatu yang berguna buat kampung gue ini setelah sekolah kelar. Gue juga cuma bisa mandangin Pulau Hoga dari kejauhan tanpa nyentuh daratannya. Ah taulah, sepertinya hanya Cita Citata yang ngerti sakitnya tuh di mana. Bagaimana pun juga gue pertama kali bisa berenang di pantai Hoga ini.

Setelah ninggalin Kaledupa kurang lebih 3 jam, ternyata di Wanci lagi “hoti” (surut), jadinya kapal yang kami tumpangi ga bisa nyampe pelabuhan Mola. Setelah nunggu 20 menitan akhirnya gue sama penumpang kapal yang lain milih naek “katinti” (perahu / sampan kecil bermesin) kepunyaan orang-orang Suku Bajo yang hilir mudik di sekitar kapal kami.


Setelah tiba di Mola, gue singgah istirahat bentar di rumah saudara nyokap, sebelum naik kapal gede yang menuju Kendari. Begitu naik kapal yang menuju Kendari bawaannya pengen tiduur aja. Gue cuma gak pengen ngeliat sambil meratapi dermaga terakhir di kabupaten ini. Hanya kalimat “kapan ke Kaledupa lagi” yang saat itu ngerubutin pikiran gue, selain kalimat “kapan nikah” tentunya *halah nikah mulu*. Dalam keadaan setengah sadar, lagu yang liriknya ada di bawah sayup-sayup melintas dalam khayalan gue, dan gue asli mewek haru mengenang kampung yang udah banyak ngukir kenangan dan ngajarin gue tentang indahnya petualangan masa kecil ini.

Lentea di umbunu sangia...
Foresaho sabara pigu...
No nduu nduu na fatalolo...
Afana nduu nu mpolarou...

One melangka saburasono...
Ku mala mala mpatotoe...
Timbangi timbangi o la tuha...
Kumadola mpatotoe...

Kaatu kaatue na lohoa...
Di langge na ntamoafa...
Di ruku-ruku nte rukua...
Te rukua nu moto immani...


Sorii banget banyakan curhatnya. entah kenapa gue begitu tergila-gila kalo udah nginget atau nulis dan nyinggung masa-masa kecil gue, kayaknya lebih parah dari si Herjunot Ali yg tergila-gila sama Pevita Pearce di Film 5CM dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.
Well, temen2 yg udah ngebaca tulisan ini, yg ikutan tergerak mau nulis tentang kampung kita, yg (mau) follow twitter & instagram @Zulfathri (halah ngiklan) dan juga yang mendoakan keselamatan saudara-saudara Muslim kita di Suriah, Palestina, Rohingya dan Uighur, gue doain dilimpahkan rezeki yg tidak diduga-duga layaknya Manchester City yang menang trofi Liga Inggris hanya dengan bermodal selisih jumlah gol pada beberapa musim lalu, diberikan umur yang barokah, dijauhkan dari musibah berkepanjangan seperti AC Milan yang terseok-seok selama beberapa tahun terakhir (hiks), serta menjadi yg bermanfaat bagi SeSaMa (Sekeluarga Sampai Masyarakat). Aamiin.

Akhirul kalam, tiada Gading yang tak Marten, karena kalo ada pasti bukan anak Roy Marten *krik krik*. Saatnya gue mengakhiri tulisan ini, dan sampai jumpa lagi kalo ada kesempatan, waspadalahh… waspadalaahhh!!! *wuaanjrit jadi bang napi*

  
-selesai-
Oleh: @zulfathri