Rabu, 11 Januari 2012

Ekowisata Biawak di Pulau Hoga

Di indonesia berbicara tentang biawak akhir-akhir ini sangat menarik perhatian banyak peneliti. Hal ini disebabkan oleh munculnya spesies baru yaitu oleh para peneliti menyebutnya dengan biawak sulawesi ( Varanus Salvator ). Salah satu peneliti itu adalah Andre Koch (peneliti reptil dari jerman). Dialah yang menemukan biawak jenis baru itu. Menurutnya,Biawak adalah jenis kadal terbesar yang masih hidup dimuka bumi ini. Biawak juga merupakan binatang reptil paling cerdik dan wujudnya sangat menyerupai Dinosaurus, yang hanya kita kenal melalui televisi. Oleh karenanya, bentuk tubuh biawak mengundang daya pesona luar biasa. Juga dari lidahnya, Biawak terkesan memiliki hubungan kerabat dengan jenis ular.
Biawak umumnya menghuni tepi-tepi sungai atau saluran air, tepian danau, pantai, dan rawa-rawa termasuk rawa bakau. Di perkotaan, biawak kerap pula ditemukan hidup digorong-gorong saluran air yang bermuara kesungai.
Biawak memangsa aneka serangga, berbagai jenis kodok, ikan, kadal, burung, serta mamalia kecil seperti tikus dan cerucut. Biawak pandai memanjat pohon. Di hutan bakau, biawak kerap mencuri telur atau memangsa anak burung. Biawak juga memakan bangkai, telur kura-kura,penyu dan buaya (sumber. wikipedia).
Biawak berkembang biak dengan bertelur. Sebelum mengawini betinanya, biawak jantan biasanya berkelahi lebih dulu untuk memperlihatkan penguasaanya. Pertarungan biawak ini unik dan menarik karena dilakukan sambil berdiri. kedua biawak itu saling pukul dan saling tolak sambil berdiri pada kaki belakangnya, sehingga tampak seperti menari bersama. Telur-telur biawak disimpan dipasir atau lumpur tepian sungai, bercampur dengan daun-daun busuk dan ranting. Panas dari sinar matahari dan proses pembusukan serasah akan menghangatkan telur sehingga menetas.
Salah satu lokasi di Sulawesi yang melestarikan biawak dari jenis Varanus Salvator ini adalah di Pulau Hoga Kecamatan Kaledupa Kabupaten Wakatobi. Selain keindahan bawah lautnya, hewan ini juga ikut berperan serta memberi icon menarik bagi pulau ini. Populasi biawak ini cukup terjaga sehingga dari hari ke hari jumlahnya bisa meningkat. Sebuah langkah positif dari masyarakat sekitar untuk menjaga kelestariannya, dimana mereka sadar akan arti sebuah keseimbangan hidup bersama alam.
Pelestarian hewan ini mengakibatkan banyaknya peneliti asing yang berkunjung kedaerah ini. mereka bahkan nekat tinggal berbulan-bulan hanya untuk mengetahui bentuk morfologi, anatomi dan jalur migrasi dari hewan ini dipulau hoga. Menjadikan biawak sebagai obyek penelitian maka sama halnya dengan menjaga kelestariannya. Biawak terjaga, masyarakatlah yang akan merasakan manfaatnya, dan juga secara tidak langsung juga memberi konstribusi positif bagi daerah. Inilah yang biasa orang sebut dengan berekowisata...^_^

yukk.....berwisata..^_*

PESONA WISATA ALAM GUA STALAGTIK KALEDUPA-WAKATOBI


Pengertian

Stalagtik adalah batuan yang berbentuk gigi sisir atau paku panjang yang bergantungan pada para-para gua kapur. Sedangkan, Stalagmit adalah batuan yang berbentuk kerucut yang terletak dilantai gua kapur. Jadi, Stalagmit terbentuk karena adanya Stalagtik.


Proses terbentuknya

Stalagtik terbentuk karena adanya proses Gas karbon dioksida di atmosfer yang terlarut dalam air membentuk asam karbonat.Air permukaan yang mengalir dan mengandung asam tersebut mengikis bebatuan kapur yang dilewatinya dan melarutkan kalsium karbonat serta senyawa karbonat lainnya. Pada saat meresap ke dalam batuan kapur, air yang telah jenuh dengan senyawa-senyawa karbonat menetes malaluilangit-langit gua dan meninggalkan endapan terutama kalsium karbonat yang terus menerus menumpuk menjadi ukiran batu alami

GUA STALAGTIK KALEDUPA-WAKATOBI

Wakatobi selain menyimpan keindahan alam dibawah laut,budaya dan bahasa ternyata terdapat juga sebuah keunikan. Salah satu dari keindahan itu terdapat pada gua-gua stalagtik yang tersebar dibeberapa pulau diwakatobi.namun, kali ini kita akan membahas salah satu dari beberapa gua stalagtik diwakatobi yakni gua stalagtik di Kecamatan Kaledupa selatan.Orang lokal biasa menyebut gua ini sebagai “Gua Te’e Dhanddilla”.

Gua ini terletak disebelah Timur pulau kaledupa yang lokasinya sekitar 2 km dari pemukiman masyarakat dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama 30 menit. Disepanjang jalan terdapat beberapa perkebunan dari penduduk. Gua ini memiliki keistimewaan Karena di dalam gua terdapat sebuah sumber air yang digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan primer. Hal menarik lainnya adalah gua ini memiliki bentuk yang unik dan terlihat menarik yakni lokasinya berada diperbukitan sehingga keindahan alam kaledupa bisa dinikmati dari gua ini. sangat tepat dikunjungi untuk b'wisata, meneliti dan b'foto-foto. ayo, siapa yang berminat..:D

PELESTARIAN HABITAT PENYU di DESA RUNDUMA KABUPATEN WAKATOBI DAPAT DILAKUKAN DENGAN EKOWISATA


Perairan laut Indonesia adalah habitat bagi enam dari tujuh spesies penyu di dunia, karena memberikan tempat yang penting untuk bersarang dan mencari makan di samping merupakan rute perpindahan yang penting di pertemuan antara Samudera Pasifik dan Hindia (Iskandar D.T, 2000). Keenam spesies penyu tersebut adalah: (1) penyu sisik (Eretmochelys imbricata), (2) penyu lekang (Lepidochelys olivacea), (3) penyu belimbing(Dermocelys coriacea), (4) penyu hijau (Chelonia mydas), (5) penyu tempayan (Caretta caretta)dan (6) penyu pipih (Natator depressus), sedangkan yang tidak ada di Indonesia adalahLepidochelys kempi. Spesies ini hanya hidup di Laut Atlantik,khususnya pada kawasan pantai Amerika dan Meksiko (Nuitja, 1996 dalam Dermawan, 1999).

Populasi ke enam spesies penyu ini tercantum sebagai yang rentan, terancam, atau sangat terancam menurut (IUCN Red List of Threatened Species) daftar merah spesies yang terancam menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature). Ancaman utama yang dihadapi oleh penyu laut mencakup hancurnya habitat dan tempat bersarang, penangkapan, perdagangan ilegal dan eksploitasi yang membahayakan lingkungan. Indonesia pada tahun 1978 telah berperan serta menandatangani CITES (Convention on International Trade of Endangered Species) yang memasukkan satwa jenis penyu dalam apendiks 1. Hal ini berarti semua jenis penyu dan produk dari penyu tidak boleh diperdagangkan dan dikukuhkan pula dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1978.

Salah satu habitat tempat hidup penyu yang berada dalam zonasi Taman Nasional Laut Wakatobi adalah di Desa Runduma Kecamatan Tomia. Keberadaan penyu ini selalu dieksploitasi masyarakat untuk mengambil telur, daging atau sisiknya. Bahkan permintaan dari luar daerah terhadap penyu ini semakin meningkatkan eksploitasi pemanfaatan penyu di kawasan Taman Nasional Laut ini. Upaya perlindungan dan konservasi penyu sangat krusial agar hewan ini dapat dilestarikan. Salah satu upaya adalah dengan menjadikan penyu sebagai obyek dalam kegiatan wisata, khususnya ekowisata yang menekankan pada pelestarian sumber daya alam.

Ekowisata penyu menjadi salah satu pilihan dalam mempromosikan lingkungan yang khas dan terjaga keasliannya, sekaligus menjadi suatu kawasan kunjungan wisata. Potensi yang ada adalah suatu konsep pengembangan lingkungan yang berbasis pada pendekatan, pemeliharaan dan konservasi alam. Ekowisata memiliki prinsip pengelolaan berkelanjutan,seperti: berbasis pada wisata alam, menekankan pada kegiatan konservasi, mengacu pada pembangunan pariwisata yang berkelanjutan, berkaitan dengan kegiatan pengembangan pendidikan, mengakomodasi budaya lokal, dan memberi manfaat pada ekonomi lokal.

Desa Runduma merupakan pesisir yang masih dijadikan Penyu untuk bertelur. Untuk itu demi kelestarian Penyu di Desa Runduma, perlu dilakukan Studi Kesesuaian Ekowisata Penyu di Desa Runduma Taman Nasional Wakatobi, agar Penyu tidak terancam dari kepunahan dan dapat kita lestarikan untuk kehidupan anak cucu kita....gimana ?...ada yang berminat untuk melakukan riset kesana...:D


oleh. ma'ruf ode

RUMAH APUNG SUKU BAJO

  • Rumah Panggung Di Atas Laut

    Rumah panggung di atas laut yang dimiliki orang Bajo dewasa ini sudah tidak tampak lagi. Sejak tahun 1975-an,Kebanyakan Penduduk untuk menimbun dasar rumahnya menggunakan Batu Karang sebagai bahan untuk mempertahankan Tiang rumah mereka dari serangan Tiram dan lapuknya akibat terendam Air asin secara terus menerus. Sejak itu, orang Bajo giat mengumpulkan batu karang dari laut dan menggali tanah lumpur(Pasir Lumpur) pada batas air surut untuk ditimbunkan pada tapak rumah. Setelah timbunan sudah cukup tinggi, kemudian mengusahakan mengangkat tiang-tiang rumahnya. Demikian dilakukan secara tahap-demi tahap, akhirnya mencapai ketinggian sejajar dengan tapak rumah pekarangan rumah sederajat dengan rumah di daratan bibir pantai. Sebelum lokasi ini ditimbun, rumah-rumah orang Bajo pada awalnya berdiri dan berada di atas air, menjorok sekitar antara 50-150 m ke laut ukurang ini tidak paten dilihat dari kondisi dimana mereka tinggal. Pada masing- masing tapak rumah orang Bajo yang sudah meninggi itu, dibuat susunan batu karang pelindung supaya ombak tidak dapat menembusnya,serta tidak mudah lapuk dan dilekati Tiram .Lalu kemudian dibuat semacam lorong air yang dapat dilalui perahu mendekati rumah. Sejak itu bentuk rumah panggung di atas laut mulai ditinggalkan dan dengan semakin majunya pemikiran dan perkembangan mengakibatkan pola hidup dan bangunannya berubah pula yang pada prinsipnya sudah terpengaruh dan terkontaminasi oleh motif dan bentuk modern sesuai arah kemajuan zaman ,Hal ini menjadi landasan utama mengapa masayarakat ini mulai menampilkan beberapa perubahan baik dari segi Budaya,sosiologi,komunikasi dan bentuk-bentuk pergaulan yang pada prinsipnya budaya kebajoan semakin hari semakin pudar di benak dan pikiran mereka.
    Pada awalnya Komunitas Bajo mencoba berusaha untuk hidup menetap dengan menbuat atau mendirikan rumah-rumah mereka di tepi pantai sebagai tempat beristrahat sejenak untuk menyimpan perbekalan mereka setelah pulang dari mencari di karang( Palilibu ,Pongka’,Sakai,Lama’) tujuannya adalah untuk menjadi pusat persinggahan dan tempat beristrahat bagi nelayan-nelayan bajo yang datang dari karang dan yang kebetulan lewat disekitar kawasan itu.Rumah yang biasa di buat untuk tempat persinggahan itu orang bajo menyebutnya “Babaroh” artinya Rumah sederhana yang terbuat dari Pohon Bakau untuk tiangnya,Daun Nipa(Tuho’)untuk atapnya, Daun Kelapa untuk dindingnya,sedangkan lantainya terbuat dari batangan –batangan mangrove yang kecil dan lurus juga dari anyaman Belahan Batang Bambu.Dari beberapa pengalaman yang didapatkan oleh orang bajo dan menilai bahwa menetap itu lebih baik dan nyaman beristrahat ketimbang di atas perahu inilah awalnya cikal bakal mengapa bangsa ini mulai mendirikan rumah di pesisir pantai nusantara.Keputusan membuat rumah ini tidak serta merta disetujui oleh semua komunitas ini tetapi ada criteria yang harus disepakati bersama kemudian ditetapkan oleh kepala Rombongan ( Adat,Suku) keputusan ini di tetapkan sebagai acuan (syarat) agar tidak menjadi polemic di kemudian hari.Kriteria tersebut antara lain:
    Lokasi tempat yang akan dilamar untuk dijadikan lokasi pemukiman tersebut mendapat persetujuan dari pemerintah setempat atau penguasa wilayah tersebut sehingga ada jaminan keamanan dari penduduk setempat,serta diberi ruang dan akses dalam memasarkan hasil-hasil tangkapan mereka.
    Lokasi yang dijadikan tempat untuk tinggal sudah dipastikan memiliki sumberdaya alam yang memadai untuk kebutuhan hidup mereka(bajo).Aman dari Badai dan musim yang menimbulkan angin kencang dan ombak besar.Tidak terlalu jauh dari tempat mencari hasil-hasil laut (Karang,atol)
    Inilah 4 kriteria utama yang di jadikan syarat mereka membangun rumah untuk menetap di suatu wilayah atau kawasan tertentu.Akhir ini petunjuk ini itu mulai pudar dan tidak lagi digunakan sebab kebanyakan nelayan dalam mengelola hasil laut sudah sedikit lebih maju dari sebelumnya,dahulu mereka jika kekarang berangkat di waktu malam hari dan masih menggunakan tenaga alam seperti angin ,arus,dan petunjuk Bintang dan arah awan,sekarang sudah ditinggalkan dengan peralatan yang lebih modern seperti menggunakan mesin diesel dan kompas sebagai pedoman arah.Beberapa perubahan yang disebutkan diatas adalah hanya sebagian kecil contoh peruhan yang terjadi di masyarakat bajo akhir-akhir ini.
    · · · 25 Desember 2011 pukul 22:59
    • Anda, Mardi Omenk, Risma Astuti, dan 2 orang lainnya menyukai ini.
      • Ma'ruf Ode nah, anak kldp yg sperti ini yg dibutuh...bukti nyata bahwa kita peduli skalipun hanya dgn tulisan..salut.:D
        26 Desember 2011 pukul 1:26 ·
      • Idrus Lm ohooo laaa
        26 Desember 2011 pukul 1:43 ·
      • Risma Astuti ma'ruf,,, setuju kawan ;)
        27 Desember 2011 pukul 4:35 melalui seluler ·
      • Muhammad Syariat Laode bgus,bgus,bgus.....
        30 Desember 2011 pukul 2:59 ·
      • Mitzan Meti Dalam adat masyarakat kaledupa,disetiap pesisir sepanjang 5 meter ke darat mengakomodir masyarakat bajo maupun orang yang terdampar untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam terutama kayu maupun pelepah kelapa untuk dimanfaatkan tanpa ada sangsi dari masing - masing Limbo
        30 Desember 2011 pukul 9:51 melalui seluler ·
      • Idrus Lm meti: ini dpt sumber dari mana?
        30 Desember 2011 pukul 10:33 ·
      • Mitzan Meti Idrus:dari hasil diskusi dgn beberapa tetua adat tahun lalu menjelang pemetaan wilayah adat kaledupa yang di sombano
        30 Desember 2011 pukul 21:36 melalui seluler ·
      • Idrus Lm klw boleh tau,itu sombano masuk limbo mana?
        30 Desember 2011 pukul 21:42 ·
      • Mitzan Meti Limbo Lau Lua meliputi Sampua Koiya sampai Uju Nu taduno, 2.Sampua Lanta sampai Umala

        Limbo Lewuto meliputi Langgira sampai Pagana
        Jadi sebagian besar masuk limbo Lewuto
        2 Januari pukul 1:30 ·

ASAL MUASAL KATA BAJO

ASAL MUASAL KATA BAJO

Asal Muasal kata Bajo sebenarnya ada dua ospsi Yaitu:
Dari segi Morfologis bahasa adalah kata” Bajo” tersebut terbentuk melalui proses pengucapan dan dialek setiap orang dari suku bangsa yang menyebut kata “Bajo”perubahan itu berdasarkan tekanan nada ,bunyi,dialek dari pengucapan setiap orang.Misalnya :Orang –orang dari Irian,Madura,Batak ,Jawa,Bali dll ,sehingga ketika dalam sebuah interview tulisan “kata Bajo “tersebutkebanyakan ditulis berdasarkan Bunyi yang didengar dari narasumber yang di wawancarai.Oleh karenanya dalam pengucapannya pasti terjadi perbedaan aksen atau nada dari sebutan “Bajo”.Dari beberapa peneliti mengatakan bahwa kata “ Bajo” bersumber dari perubahan sebutan dari kata “Badjau-Badjaw-Badjao-Bajau-Bajow-Bajo”perubahan tersebut dimungkinkan akibat penyempurnaan ejaan sebuah kata seperti contoh: kata “ Soekarno” dibaca “ Sukarno”.dll
Kata “Bajo” sejatinya merupakan panggilan bagi suku Bangsa Pengembara Laut yang diberikan oleh masyarakat non-pribumi (bukan suku Bajo). Suku Bajo sendiri menyebut diri mereka dengan “Sama” atau “Same-Bajo”
· · · 2 Januari pukul 4:16