Rabu, 11 Januari 2012

RUMAH APUNG SUKU BAJO

  • Rumah Panggung Di Atas Laut

    Rumah panggung di atas laut yang dimiliki orang Bajo dewasa ini sudah tidak tampak lagi. Sejak tahun 1975-an,Kebanyakan Penduduk untuk menimbun dasar rumahnya menggunakan Batu Karang sebagai bahan untuk mempertahankan Tiang rumah mereka dari serangan Tiram dan lapuknya akibat terendam Air asin secara terus menerus. Sejak itu, orang Bajo giat mengumpulkan batu karang dari laut dan menggali tanah lumpur(Pasir Lumpur) pada batas air surut untuk ditimbunkan pada tapak rumah. Setelah timbunan sudah cukup tinggi, kemudian mengusahakan mengangkat tiang-tiang rumahnya. Demikian dilakukan secara tahap-demi tahap, akhirnya mencapai ketinggian sejajar dengan tapak rumah pekarangan rumah sederajat dengan rumah di daratan bibir pantai. Sebelum lokasi ini ditimbun, rumah-rumah orang Bajo pada awalnya berdiri dan berada di atas air, menjorok sekitar antara 50-150 m ke laut ukurang ini tidak paten dilihat dari kondisi dimana mereka tinggal. Pada masing- masing tapak rumah orang Bajo yang sudah meninggi itu, dibuat susunan batu karang pelindung supaya ombak tidak dapat menembusnya,serta tidak mudah lapuk dan dilekati Tiram .Lalu kemudian dibuat semacam lorong air yang dapat dilalui perahu mendekati rumah. Sejak itu bentuk rumah panggung di atas laut mulai ditinggalkan dan dengan semakin majunya pemikiran dan perkembangan mengakibatkan pola hidup dan bangunannya berubah pula yang pada prinsipnya sudah terpengaruh dan terkontaminasi oleh motif dan bentuk modern sesuai arah kemajuan zaman ,Hal ini menjadi landasan utama mengapa masayarakat ini mulai menampilkan beberapa perubahan baik dari segi Budaya,sosiologi,komunikasi dan bentuk-bentuk pergaulan yang pada prinsipnya budaya kebajoan semakin hari semakin pudar di benak dan pikiran mereka.
    Pada awalnya Komunitas Bajo mencoba berusaha untuk hidup menetap dengan menbuat atau mendirikan rumah-rumah mereka di tepi pantai sebagai tempat beristrahat sejenak untuk menyimpan perbekalan mereka setelah pulang dari mencari di karang( Palilibu ,Pongka’,Sakai,Lama’) tujuannya adalah untuk menjadi pusat persinggahan dan tempat beristrahat bagi nelayan-nelayan bajo yang datang dari karang dan yang kebetulan lewat disekitar kawasan itu.Rumah yang biasa di buat untuk tempat persinggahan itu orang bajo menyebutnya “Babaroh” artinya Rumah sederhana yang terbuat dari Pohon Bakau untuk tiangnya,Daun Nipa(Tuho’)untuk atapnya, Daun Kelapa untuk dindingnya,sedangkan lantainya terbuat dari batangan –batangan mangrove yang kecil dan lurus juga dari anyaman Belahan Batang Bambu.Dari beberapa pengalaman yang didapatkan oleh orang bajo dan menilai bahwa menetap itu lebih baik dan nyaman beristrahat ketimbang di atas perahu inilah awalnya cikal bakal mengapa bangsa ini mulai mendirikan rumah di pesisir pantai nusantara.Keputusan membuat rumah ini tidak serta merta disetujui oleh semua komunitas ini tetapi ada criteria yang harus disepakati bersama kemudian ditetapkan oleh kepala Rombongan ( Adat,Suku) keputusan ini di tetapkan sebagai acuan (syarat) agar tidak menjadi polemic di kemudian hari.Kriteria tersebut antara lain:
    Lokasi tempat yang akan dilamar untuk dijadikan lokasi pemukiman tersebut mendapat persetujuan dari pemerintah setempat atau penguasa wilayah tersebut sehingga ada jaminan keamanan dari penduduk setempat,serta diberi ruang dan akses dalam memasarkan hasil-hasil tangkapan mereka.
    Lokasi yang dijadikan tempat untuk tinggal sudah dipastikan memiliki sumberdaya alam yang memadai untuk kebutuhan hidup mereka(bajo).Aman dari Badai dan musim yang menimbulkan angin kencang dan ombak besar.Tidak terlalu jauh dari tempat mencari hasil-hasil laut (Karang,atol)
    Inilah 4 kriteria utama yang di jadikan syarat mereka membangun rumah untuk menetap di suatu wilayah atau kawasan tertentu.Akhir ini petunjuk ini itu mulai pudar dan tidak lagi digunakan sebab kebanyakan nelayan dalam mengelola hasil laut sudah sedikit lebih maju dari sebelumnya,dahulu mereka jika kekarang berangkat di waktu malam hari dan masih menggunakan tenaga alam seperti angin ,arus,dan petunjuk Bintang dan arah awan,sekarang sudah ditinggalkan dengan peralatan yang lebih modern seperti menggunakan mesin diesel dan kompas sebagai pedoman arah.Beberapa perubahan yang disebutkan diatas adalah hanya sebagian kecil contoh peruhan yang terjadi di masyarakat bajo akhir-akhir ini.
    · · · 25 Desember 2011 pukul 22:59
    • Anda, Mardi Omenk, Risma Astuti, dan 2 orang lainnya menyukai ini.
      • Ma'ruf Ode nah, anak kldp yg sperti ini yg dibutuh...bukti nyata bahwa kita peduli skalipun hanya dgn tulisan..salut.:D
        26 Desember 2011 pukul 1:26 ·
      • Idrus Lm ohooo laaa
        26 Desember 2011 pukul 1:43 ·
      • Risma Astuti ma'ruf,,, setuju kawan ;)
        27 Desember 2011 pukul 4:35 melalui seluler ·
      • Muhammad Syariat Laode bgus,bgus,bgus.....
        30 Desember 2011 pukul 2:59 ·
      • Mitzan Meti Dalam adat masyarakat kaledupa,disetiap pesisir sepanjang 5 meter ke darat mengakomodir masyarakat bajo maupun orang yang terdampar untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam terutama kayu maupun pelepah kelapa untuk dimanfaatkan tanpa ada sangsi dari masing - masing Limbo
        30 Desember 2011 pukul 9:51 melalui seluler ·
      • Idrus Lm meti: ini dpt sumber dari mana?
        30 Desember 2011 pukul 10:33 ·
      • Mitzan Meti Idrus:dari hasil diskusi dgn beberapa tetua adat tahun lalu menjelang pemetaan wilayah adat kaledupa yang di sombano
        30 Desember 2011 pukul 21:36 melalui seluler ·
      • Idrus Lm klw boleh tau,itu sombano masuk limbo mana?
        30 Desember 2011 pukul 21:42 ·
      • Mitzan Meti Limbo Lau Lua meliputi Sampua Koiya sampai Uju Nu taduno, 2.Sampua Lanta sampai Umala

        Limbo Lewuto meliputi Langgira sampai Pagana
        Jadi sebagian besar masuk limbo Lewuto
        2 Januari pukul 1:30 ·

Tidak ada komentar:

Posting Komentar